Sunday, September 7, 2008

Pak, saya bersama teman saya ingin mendirikan suatu perusahaan bisnis yang baru. Perusahaan ini bergerak di bidang pembuatan alat elektronik (manufaktur). Pangsa pasar sudah ada. Tim inti perusahaan: 5 orang.

Yang ingin ditanyakan:

1. Bagaimana struktur/bentuk organisasi yang baik menurut Bapak? (dari pengalaman, perusahaan seperti ini tidak dapat bertahan lama. Pada awalnya baik, semua berpartisipasi, namun ke depannya pada main sendiri, saling jegal, dan bubar)
2. Divisi mana saja yang diperlukan?
3. Bagaimana aturan main di dalamnya? Untuk para anggota tim inti.
4. Bagaimana membangun budaya produktif untuk perusahaan?
5. Bagaimana sistem penggajiannya?
6. Bagaimana bentuk organisasi yang baik sehingga dapat fleksibel, ramping, scalable?
7. Perangkat apa saja yang dibutuhkan untuk membangun perusahaan baru?

Saya sudah membaca beberapa buku manajemen (saya sarjana teknik industri) namun di sana tidak ada penjelasan teknis tentang membangun perusahaan. Untuk itu bantuan bapak sangat saya harapkan. Terima kasih sebelumnya.


Achmad Mardiansyah


Jawaban
Pak Achmad,

Wah panjang benar pertanyaannya. Rasanya butuh satu buku tersendiri untuk menjawabnya.

OK berikut ini ringkasan jawabannya:

1. Struktur organisasi yang tahan lama harus dibedakan antara:
- yang berkuasa pegang & keluarkan uang perusahaan
- yang bertugas mencari order dan memenuhinya
- yang mereview semua kegiatan (controller)
Masing-masing pribadi sepakat untuk mengambil salah satu fungsi

2. Sudah dijawab di atas:
- Marketing/selling
- Production
- Finance & Accounting

3. Anggap perusahaan ini seperti tempat kerja. Semua pemegang saham harus menganggap hubungan dengan perusahaan sebagai tempat kerja jadi tidak ada kasbon - kasbon yang tidak dicatat, dan harus disiplin dalam pengelolaan kas. Saat awal kas masih seret jangan terlalu memikirkan mau untung dulu. Tahan 1-2 tahun kerja bakti setelah ada hasil baru bagi-bagi deviden.

4. Pendiri perusahaan harus mau sama-sama kerja keras, jangan perhitungan waktu dan tenaga. Masing-masing lakukan tugasnya dengan kesepakatan dan semangat sukarela. Saling mengingatkan dan terbuka satu sama lain. Adakan forum terbuka tiap sore menjelang magrib jadi suasana sudah santai. Masa untuk koreksi dan introspeksi.

5. Gaji dilakukan dengan semangat mengurangi biaya (pada awal tahun awal) dan pelan-pelan ditambah sesuai pasar ketika perusahaan sudah mulai kuat (langganan banyak, arus kas lancar).

6. Organisasi flat lebih baik. Semua orang langsung lapor ke atasan dan atasan-atasan ini nggak ada layer lagi, mereka bekerja seperti komite (kumpulan individu yang membuat keputusan bersama) yang memiliki jadwal menggilir kepemimpinan.

7.- pengetahuan akan market/akses pelanggan
- pengetahuan cara pembuatan produk/pemenuhan jasa ke pelanggan
- tempat berusaha (kantor dengan ruang layak untuk admin, fax, internet, mengetik dan ruang tamu, gudang jika diperlukan)

Buku-buku manajemen yang ada paling banter hanya bercerita tentang pembuatan business planning. Jika Anda mau jadi pengusaha memang tidak ada cara lain kecuali belajar sendiri dan terjun ke dunianya. Jika anda ingin bisa berenang tidak ada cara lain kecuali menceburkan diri ke kolam renang dan masuk ke bagian yang dalam - sesekali masih terminum air, lama-lama Anda akan fasih menggerakkan anggota badan dan bisa berenang.

Hidup dan berusaha pun seperti itu - yang penting jangan takut, jangan kaget -jangan cepat puas - jangan tinggi hati - fleksibel - sensitive - semangat memperbaiki diri - belajar dari siapapun dan "tetap berterima kasih dengan Yang diAtas Sana" karena kita masing-masing memiliki jalan Hidup..... " Usaha Anda adalah Ibadah Anda".

Salam sukses selalu,
Hubungan antara CSO dan CSR
Senin, 19 Juli 2004

Saya Supervisor Bag. Maintenance dari suatu perusahaan. Salah seorang customer representative (CSR) saya merupakan teman saya sewaktu masih kuliah. CSR merupakan bawahan dari Customer Service Officer, setiap keluhan customer yang diterima oleh CSR diteruskan kepada CSO yang selanjutnya CSO akan meneruskan ke Supervisor Maintenance.

Namun CSR sering juga meneruskan keluhan customer langsung kepada saya sebagai Supervisor Bag. Maintenance. Hal ini karena menurut CSR bahwa CSOnya sering lambat menindaklanjuti keluhan customer.

Posisi saya sebagai Supervisor Bag. Maintenance dan Customer Service Officer sama dan merupakan bawahan dari satu kepala Divisi. CSR merasa frustrasi karena CSO membuat memo ke atasan bahwa ia telah menyelesaikan keluhan customer, yang sebenanya bahwa itu merupakan hasil kerja CSR.

Untuk mengatasi case ini, mohon kiranya saya dapat dibantu dicarikan beberapa solusi.

Terima kasih atas perhatian Bapak. Salam.


Nanang


Jawaban
Pak Nanang yth,

Sepertinya masalah yang Bapak hadapi ini memang seringkali terjadi di mana-mana, tidak hanya di perusahaan Bapak.

CSR memang menjadi ujung tombak yang akan kena langsung impactnya jika respon terhadap customer kurang baik. Mereka adalah tameng perusahaan menghadapi berbagai jenis customer. Wajar mereka frustrasi karena CSOnya kurang tanggap.

Namun sebaiknya diteliti lebih dulu apakah memang CSO secara attitude memiliki kecenderungan untuk kurang tanggap atau ada penyebab lainnya. Akan lebih baik kalau duduk permasalahan atau sebab pokonya anda cari terlebih dulu.

Bisa jadi CSO kurang tanggap karena :
1. beban kerjanya memang overload
2. alat-infrastructure untuk menangani complain / memberi service sangat terbatas
3. ada hubungan yang kurang harmonis antar CSO dan CSR secara personal
4. ada perbedaan perlakuan dalam kesejahteraan atau hal lain yang menjadi pemicu rasa suka - tidak suka antara CSO-CSR.

Setelah menemukan penyebabnya secara faktual barulah Anda bisa memberikan terapinya.
Bagaimana Membuat Business Plan
Selasa, 22 Maret 2005

Saya dan beberapa orang teman akan membentuk CV dengan beberapa bidang usaha. Secara umum, bagaimana menyusun business plan? Apa saja yang harus masuk dalam business plan tersebut? Business plan ini harus kami susun dengan baik karena ada stakeholder yang mau bekerjasama dengan kami, sekaligus meyakinkan mereka. Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih.

Ray Suherman


Jawaban
Business Plan (BP) pada dasarnya adalah deskripsi tertulis mengenai masa depan bisnis anda, yang menjelaskan APA dan BAGAIMANA rencana anda. BP biasanya digunakan oleh wiraswastawan yang sedang mencari calon investor untuk menyampaikan visi mereka kepada calon investor. BP juga sering kali digunakan oleh perusahaan untuk menarik karyawan penting, prospek bisnis baru, berhubungan dengan supplier, atau bahkan hanya untuk diberikan kepada siapapun agar mereka lebih mengerti bagaimana mengelola perusahaan anda secara lebih baik.

BP pada umumnya terdiri dari Tujuan bisnis, Strategi yang digunakan untuk mencapainya, Masalah potensial yang kira-kira akan dihadapi dan cara mengatasinya, Struktur organisasi (termasuk jabatan dan tanggung jawab), dan Modal yang diperlukan untuk membiayai perusahaan anda dan bagaimana mempertahankannya sampai mencapai break even.

Menarik tidaknya sebuah BP juga tergantung pada bagaimana cara Anda menulis dan menyusunnya. Seringkali kita memiliki ide bisnis yang brilian, namun belepotan dalam mengungkapkannya dalam bentuk BP. Sebuah perencanaan Bisnis akan baik apabila mengikuti pedoman yang telah disepakati secara umum dalam dunia bisnis, baik dari segi susunan maupun isi.

Ada 3 bagian utama dari sebuah Perencanaan Bisnis:

Yang pertama adalah Konsep Bisnis, yang menjelaskan secara rinci industri yang digeluti, struktur bisnis, produk dan jasa yang ditawarkan dan bagaimana rencana anda untuk mensukseskan bisnis anda.

Yang kedua adalah market/pasar, yang membahas dan menganalisa konsumen potensial: siapa dan dimana mereka berada, apa yang menyebabkan mereka mau membeli, dan lain-lain. Dalam bagian ini, anda juga perlu menjelaskan persaingan yang akan dihadapi dan bagaimana anda memposisikan diri anda untuk memenangkannya.

Yang terakhir yaitu Finansial, mencakup estimasi pendapatan dan arus kas, neraca serta rasio keuangan lainnya, seperti analisis break even. Untuk ini anda mungkin akan memerlukan bantuan seorang akuntan dan program software spreadsheet yang bagus.

Ketiga bagian tersebut dapat dibagi-bagi lebih jauh lagi, menjadi 7 komponen kunci:

1. Executive summary
2. Deskripsi Bisnis
3. Strategi pasar
4. Analisis kompetitif
5. Rencana Desain dan Pengembangan
6. Rencana Operasi dan Manajemen
7. Faktor-faktor keuangan

Panjang pendeknya sebuah BP sangatlah tergantung fungsi perencanaan bisnis itu sendiri. Biasanya BP setebal 15 – 20 halaman. Namun jika anda mengajukan sebuah bisnis baru atau bahkan industri baru, maka anda akan memerlukan penjelasan lebih untuk menyampaikannya, bahkan mungkin sampai 100 halaman lebih. Demikian pula jika anda membutuhkan jutaan dolar sebagai modal untuk memulai suatu usaha yang beresiko, maka anda akan perlu untuk menyediakan banyak penjelasan untuk meyakinkan. Namun jika anda hanya ingin menggunakan perencanaan tersebut untuk tujuan internal, untuk mengatur bisnis anda, maka sebuah versi singkat sudah cukup memadai.
Ketika Brand adalah Segalanya
Selasa, 15 Januari 2008

Oleh : Teguh Poeradisastra

Di era ekonomi citra sekarang ini, brand menjadi aset terpenting yang memukau konsumen dan menentukan sukses atau gagalnya perusahaan. Tak heran, brand-brand kuat menjadi rebutan pebisnis dan diperjualbelikan sebagai jalan pintas meraih sukses. Namun, mengapa banyak perusahaan kita yang masih setengah hati membangun brand-nya?

”What is in a name?” begitu penggalan ucapan William Shakespeare yang paling banyak dikutip. ”Mawar tetaplah harum meski namanya diganti dengan apa pun,” lanjut pujangga Inggris ini. William keliru besar. Mawar memang tetap harum seandainya namanya diganti. Namun, yang dicari orang adalah mawar – bukan bunga yang beraroma harum, berwarna indah, dan memiliki kelopak berlapis-lapis. Mawar sudah menjadi representasi dan asosiasi dari keharuman dan keindahan itu sendiri. Jika namanya diganti, para pecintanya akan menampik dan berpaling darinya.

Nama, brand atau merek adalah representasi dan asosiasi sebuah produk – baik mutu, harga, nilai, maupun gengsinya. Sepotong nama ini bisa berarti banyak. Brand adalah pukau, daya pikat, pesona sekaligus pembeda produk yang satu dari yang lain. Brand inilah yang memikat orang hingga mengagumi, memburu dan membeli sebuah produk atau karya. Tanpa brand yang menancap kuat di benak konsumen, sebuah produk hanyalah komoditas yang dihargai rendah meski mungkin dari sisi fungsional manfaatnya sama. Namun dengan brand yang kuat, harga produk yang sama tadi bisa menjadi berlipat ganda – bahkan priceless. Inilah yang membuat Kent Wertime dalam buku larisnya Building Brands & Believers menyebut di era ekonomi citra (the image economy) kini, peranan brand sebagai aset terpenting perusahaan akan kian berlipat ganda.

Stephen King, CEO WPP Group, London, mendefinisikan produk sebagai barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. “Produk amat mudah ditiru, sementara merek selalu memiliki keunikan dan nilai tambah yang sangat signifikan. Produk cepat usang, sementara merek yang sukses akan bertahan sepanjang zaman,” katanya.

Simak saja brand GE (General Electric) dan Coca-Cola. Kedua merek ini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Bahkan ketika tulang-belulang Dr. Thomas Alva Edison (pendiri GE) dan Dr. John S. Pemberton (pendiri Coca-Cola), telah memutih bahkan menyatu dengan tanah, kedua brand ini justru makin belia dan menguasai dunia.

Toh, untuk membangun brand yang kokoh dan mampu menggerakkan pembeli dengan suka rela mengeluarkan uangnya tidak mudah. Perlu usaha keras dan waktu relatif panjang untuk membuktikan keperkasaan merek, dan menjadikannya sebagai itik bertelur emas, yang terus-menerus menghasilkan keuntungan bagi pemiliknya. Alhasil, untuk memperoleh merek yang bagus, orang tak ragu membeli merek itu; mengakuisisi seluruh atau sebagian besar saham perusahaan; atau menjalin kemitraan dengan pemilik merek cemerlang tadi. Ketiga pola ini banyak diterapkan perusahaan yang ingin menguasai atau turut merasakan sawab merek ini.

Pola pertama dilakukan The Coca-Cola Company ketika membeli brand AdeS, air minum dalam kemasan (AMDK) yang saat itu (tahun 2000) menduduki peringkat kedua pangsa pasar AMDK. Perusahaan ini rela menggerojokkan dana US$ 19,9 juta untuk mengambil alih brand AdeS dan beberapa merek lainnya (Desca, Desta dan Vica) di bawah PT Ades Alfindo Putra Setia. Pola ini juga dilakukan Unilever pada Sariwangi.

Pola kedua dilakukan Danone ketika mengakuisisi sebagian saham PT Aqua Golden Mississippi. Ketika itu, tahun 1999, produsen AMDK bermerek Aqua ini sedang kesulitan keuangan akibat krisis moneter yang melambungkan harga patokan eceran tertinggi kemasan AMDK, yang harus diimpor.

Pola ketiga juga bisa kita lihat pada kasus Aqua-Danone. Bermitra dengan perusahaan asal Prancis ini, merek Aqua ikut terkatrol. Danone adalah pemilik merek Evian, Ferarele, Volvic; Danone menguasai pasar lapisan atas, tengah hingga bawah; serta menjadi penguasa pasar di banyak belahan dunia. Evian, Ferarele dan Danone berjaya di pasar Eropa. Adapun di Amerika Serikat ia berkibar dengan bendera Danon (bukan Danone). Dengan menggandeng Danone dan melakukan co-branding, Aqua bisa lebih mudah menembus pasar ekspor. Sebaliknya, dengan bendera Aqua, Danone bisa menembus pasar Indonesia (yang sangat besar dan potensial), serta negara jiran seperti Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura. Berkat gandengan ini Aqua menjadi merek tunggal terbesar dengan volume penjualan terbesar di seluruh dunia.

Akuisisi merek – atau perusahaan pemilik merek – memang merupakan jalan pintas dalam strategi pertumbuhan anorganik. Ketimbang harus menunggu bagian riset dan pengembangan mengembangkan produk baru, meluncurkannya ke pasar, menggadang-gadangnya hingga kinclong dan menjadi jagoan, akan jauh lebih cepat dan kurang berisiko jika mengakuisisi merek yang telah mumpuni dan memiliki pasar yang loyal. Apalagi kita masih ingat sejumlah kegagalan meluncurkan merek. Bahkan raksasa sekaliber Unilever yang begitu berpengalaman dan tebal koceknya pun pernah tersandung ketika meluncurkan Tara Nasiku (1999)

Maka, logislah bila yang diakuisisi adalah merek-merek yang berkibar, seperti: Aqua oleh Danone; AdeS oleh Coca-Cola; kecap Bango, teh Sariwangi, snack Taro, jus Buavita dan Go-Go oleh Unilever; ABC oleh Heinz; kopi Tugu Luwak dan kecap Piring Lombok oleh Indofood; dan sebagainya. Konsekuensinya, tentu harganya tinggi. Pasalnya, ke dalam perhitungan harga ini termasuk pula nilai merek di mata konsumen, pangsa pasar, loyalitas konsumen, dan potensinya merebut konsumen masa depan, serta tentu saja goodwill-nya.

Pertanyaannya, jika memang merek itu kinclong dan merupakan itik bertelur emas yang terus-menerus menghasilkan untung, mengapa sang pemilik merek mau menjualnya. Ada banyak alasan. Mulai yang karena terjadi konflik di dalam keluarga pemilik merek seperti kasus kecap Bango; kekurangan modal atau terjepit posisi keuangannya (Aqua); membutuhkan mitra strategis (ABC, dan Aqua); hingga yang pemiliknya ingin beralih ke bisnis yang sama sekali berbeda (Sampoerna).

Apa pun alasannya, kita tentunya berharap agar akuisisi brand ini bersifat win-win, kedua pihak sama-sama puas dan meraih untung. Untuk itu kedua pihak harus terbuka dan memikirkannya masak-masak. Pemilik brand harus mengalkulasi apakah imbalan yang diterima cukup layak sebagai pengganti itik bertelur emasnya, dan apakah ia telah siap dengan bisnis penggantinya – baik dari sisi dana maupun kompetensi. Jika harus bermitra, harus ditelisik apakah mitra yang bakal disanding itu memang strategis untuk memperkuat bisnisnya, serta mampu menyumbang lebih banyak manfaat ketimbang mudarat. Begitu pula, pembeli merek pun perlu berhitung agar tak menyesal karena merasa membeli kucing dalam karung, bukan itik bertelur emas.


Tak Selamanya Iklan Berkuasa
Sabtu, 15 Mei 2004

Oleh : Simon Jonatan

PDI Perjuangan kalah di Jakarta. Itulah yang terjadi dalam Pemilu 2004 tanggal 5 April lalu. PDIP dilibas oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan di kawasan Menteng, tempat kediaman ?Ratu? Negara, justru Partai Demokrat yang berkuasa, sementara PDIP hanya menduduki posisi ketiga.

Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Dengan upaya pemasaran yang luar biasa gencar, dan ditangani secara sangat profesional oleh pakar-pakar pemasaran, seharusnya PDIP menang mutlak! Selama tiga minggu masa kampanye, PDIP sangat unggul dalam beriklan. Hampir semua media, baik televisi, radio, media cetak, maupun media luar ruang, dihujani si Moncong Putih. Konon, anggaran promosinya mencapai Rp 40 miliar untuk tiga minggu masa kampanye. Nilai yang sulit ditandingi oleh pengiklan mana pun di negeri ini.


Akibat gencarnya iklan-iklan PDIP yang membabi buta, ia sempat tercatat sebagai pelanggar kampanye dengan 11 kali pelanggaran jumlah penayangan iklan di televisi. Pelanggaran ini belum termasuk ?cerdik?-nya PDIP memanfaatkan bentuk-bentuk iklan yang belum terjamah undang-undang kampanye, seperti running text atau super impose di teve. Konsep iklannya sendiri juga cerdik. Dengan mengajukan tag line ?moncong putih? yang fenomenal. ?Moncong putih? sungguh mengena, artinya mulut yang bersih suci, pantang bohong dan korupsi.


Istilah itu juga mudah dikenal oleh rakyat kalangan mana pun, dan secara visual menjadi pembeda dari partai berlogo banteng yang lain. Iklan dibuat dalam berbagai versi, untuk orang yang sudah mapan, untuk anak muda, dan untuk kalangan menengah-bawah. Strategi dan eksekusi pemasaran PDIP sungguh sempurna. Andaikan PDIP adalah consumer good yang baru diluncurkan, bisa dipastikan produk ini sudah menyeruak memimpin pasar, atau paling tidak mengguncang posisi market leader dengan sangat keras. Di kancah politik, PDIP sesungguhnya sudah menjadi market leader di antara partai lain. Dengan posisi itu, PDIP telah melakukan hal yang benar sebagai market leader, yaitu sekuat tenaga menjaga dan memperluas pasarnya. Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Kekalahan PDIP di beberapa tempat menunjukkan bahwa konsep pemasaran yang sudah dilakukan, didukung dengan gencarnya frekuensi iklan, tidak sepadan dengan suara yang diperoleh. Apa sebabnya? Masalahnya terletak pada tingkat involvement antara produk dan konsumen.


Produk yang low involvement adalah produk yang dalam proses adopsinya tidak memerlukan banyak pertimbangan. Biasanya produk sejenis ini dapat dibeli dengan harga yang relatif murah. Konsumen lebih berani mencoba-coba merek baru jika produknya bersifat low involvement. Contohnya, permen, snack dan minuman ringan. Sebaliknya, produk high involvement dalam proses adopsinya memerlukan banyak pertimbangan, harganya cenderung mahal. Biasanya produk ini canggih secara teknologi. Contohnya, mobil, motor, telepon seluler dan komputer. Meskipun mencoblos tidak dipungut biaya, partai politik ternyata termasuk kategori produk high involvement. Artinya, rakyat sungguh-sungguh mempertimbangkan parpol yang dipilihnya. Dengan pertimbangan yang panjang, konsumen akan bersikap kritis terhadap iklan.


Bahasa gampangnya: tidak mudah termakan iklan alias menjadi korban iklan. Ini terjadi di kota-kota besar, yang pemilihnya relatif lebih berpendidikan. Lain halnya yang terjadi di pedesaan. Dengan tingkat pendidikan yang belum tinggi, mereka masih lebih mudah termakan janji-janji parpol. Jika melihat fenomena ini, proses reformasi, yang merupakan pendidikan politik yang sangat mahal, ternyata mulai menunjukkan hasilnya. Rakyat tidak lagi demikian mudah dipengaruhi iklan-iklan yang tidak cerdas, mengobral janji, atau menjual romantisme politik semata-mata. Rakyat mulai cerdas memilih wakilnya. Apa yang dilakukan PDIP tidaklah salah. Hanya, jika produk bersifat high involvement, iklan saja tidak cukup. Yang lebih penting: kualitas produk. Konsumen akan mencari tahu lebih jauh dari iklan. Iklan hanya sebagai gerbang pembuka awareness. Setelah itu, konsumen akan melihat ke detail poduknya, sampai akhirnya memutuskan mengadopsi produk. Jadi, kegiatan public relations, dan ?bukti?, bukan ?janji? menjadi penting. Parpol memang bisa diibaratkan produk yang pemakaiannya jangka panjang.


Sehingga sebelum memutuskan, harus dipertimbangkan masak-masak. Ambil contoh merek BMW atau Mercedes. Kedua produk ini bersaing merebut posisi pemimpin pasar mobil mewah di Indonesia. Iklan mereka tak segencar para pemain di bawah kelasnya, seperti Daihatsu atau Toyota. Mereka sadar bahwa pemilihan produk mereka sangatlah high involvement. Eksekutif penjualan BMW tidak perlu banyak berbicara bahwa produk mereka unggul ini atau unggul itu. Konsumen cukup melihat sendiri, test drive, dan mengetahui keunggulan produknya. Prosesor komputer merek Intel dengan produknya Pentium memiliki karakteristik yang sama. Komputer adalah produk yang high involvement. Intel adalah pemimpin pasar prosesor. Bukannya tanpa pesaing, ada juga prosesor-prosesor merek lain. Mereka semua tak gencar beriklan, lantaran mereka sadar bahwa jika kita bicara komputer, kualitas produk lebih bersuara daripada iklannya.


Kembali ke pasar parpol, siapa produk baru yang berhasil menggoyang sang pemimpin pasar? Ternyata, Partai Demokrat, PKS dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Tiga partai baru yang langsung menyeruak menjadi anggota top ten parpol. Apa rahasia sukses mereka? Dari segi konsep pemasaran dan frekuensi iklan, tentunya mereka kalah canggih dari PDIP, Partai Golkar atau Partai Amanat Nasional, yang lebih lama bermain di pasar. Keunggulan mereka ada pada misi dan program yang mereka bawa. Jika dalam bahasa pemasaran, keunggulan mereka adalah pada unique selling points-nya. PDS, sebagai partai dengan lambang salib, jelas memiliki konsumen loyal tersendiri. Juga, PKS dengan simbol keislamannya, punya ikatan tersendiri dengan massa. Demikian pula Partai Demokrat, punya Susilo Bambang Yudhoyono yang citranya belakangan sangat positif di mata rakyat. Semua itu menjadi dasar pilihan rakyat dalam mencoblos partainya. Bukan sekadar melihat iklan, atau ikut joget beramai-ramai semasa kampanye, atau mendapat uang makan dan kaus partai.


Strategi pemasaran mereka menggunakan cara yang paling ampuh sekaligus paling sederhana dari segala jenis strategi pemasaran: word of mouth. Melalui komunikasi dari orang ke orang, mulut ke mulut, mereka melejit. Kualitas mereka diakui dan dirasakan lebih dari sekadar spot iklan atau spanduk. Dalam produk yang high involvement, cara word of mouth ini terbukti sangat ampuh dalam memengaruhi konsumen untuk mengadopsi produk.

"Cinta Brand"
Selasa, 15 Juni 2004

Oleh : Bildat Nenobais, Mhs Fakultas Pertanian

Seperti kata para pakar pemasaran Brand / "Merk" merupakan salah satu faktor pendukung didalam memasarkan produk perusahaan. Bahkan dapat dikatakan "Brand" mempunyai peran penting dalam mempertahankan para pelanggan. Kecintaan pelanggan terhadap brand dapat meningkatkan omzet penjualan perusahaan. Cara yang tepat untuk mempertahankan "BRAND" adalah dengan...

(1)Menjaga Mutu produk
(2)Mempromosikan "Brand" melalui media yang ada atau menggunakan metode/cara yang belum pernah ditempuh oleh produk perusahaan
(3)Menjamin kepuasan pelanggan secara psikologis melalui desain "BRAND" lain.
Menurut saya 3 hal ini yang penting selain hal-hal yang lain.
The End of Price Image
Selasa, 05 April 2005

Oleh : Simon Jonathan

Akhir-akhir ini ada tren perusahaan-perusahaan besar melakukan mark-down terhadap beberapa merek mereka yang tergolong kuat. Ada Pantene dan Vicks Vaporub dari P & G, kemudian diikuti sampo Lifebuoy dari Unilever. Yang menarik, strategi penurunan harga itu dikomunikasikan kepada konsumen melalui iklan TV secara gencar. Muncul pertanyaan, apakah hal itu tidak menurunkan citra merek (brand image) yang bersangkutan?

Marlboro pernah melakukan hal yang sama: menurunkan harga. Hal itu dilakukan karena ia digempur kemasan private label di Amerika Serikat. Marlboro tidak ingin pangsa pasarnya digerogoti rokok private label yang memasang harga lebih murah. Bukan karena khawatir orang berpindah dari Marlboro ke private label, melainkan agar citra mereknya yang sangat kuat tidak pindah ke merek lain. Bagi Marlboro, bila pangsa pasar goyah, praktis persepsi sebagai rokok yang paling banyak dikonsumsi orang akan luntur.

What you pay and what you get or value for money ternyata memang bisa melunturkan kekuatan merek dan brand loyalty suatu produk. Keputusan monumental eksekutif Marlboro ini pasti sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, seperti profit, efektivitas dan citra mereknya.

Sejak tahun 1970-an, terjadi shift to value ketika produk-produk Jepang menyerbu pasar dengan harga lebih murah tapi kualitas bagus. Keberhasilan produk-produk Jepang itu mengubah persepsi orang bahwa harga lebih murah pasti barangnya jelek. Dell yang sejak awal mengikuti strategi itu kini merupakan salah satu merek terkuat. Southwest Airline yang memperkenalkan tarif murah juga demikian. Bahkan Wal-Mart yang dulu diragukan, kini dipersepsikan sebagian besar konsumen AS sebagai memiliki comparable-quality fresh foods dan a good store brands.

Ini makin memperkuat asumsi bahwa harga dan kualitas tidak selalu berkaitan. Persepsi orang terhadap produk berharga tinggi, misalnya, apakah sebagai produk yang dikeluarkan oleh produsen yang tidak efisien atau produk tersebut berkualitas tinggi. Pertanyaan ini membuat makin sulit melakukan pembenaran hubungan antara kualitas dan harga itu sendiri. Para pengelola supermarket paham benar bahwa pelanggannya tidak akan membayar dengan harga lebih tinggi untuk produk tepung, roti atau wortel berkualitas lebih tinggi. Hanya sekelompok kecil konsumen yang bersedia membayar lebih tinggi untuk produk yang berkualitas lebih tinggi.

Selama ini ada konsepsi bahwa loyalitas membuat konsumen tidak sensitif pada harga. Teori ini yang dipegang para pemasar sejak dulu. Apakah teori ini tetap berlaku apabila di pasar bermunculan kompetitor yang mempunyai kualitas memadai dengan harga yang terjangkau? Hal ini yang menjadi acuan pemikiran eksekutif Marlboro, konsumen yang makin realistis makin sadar akan value for money.

Kasus Pantene bisa menjadi contoh dari the end of price image. Pasar sampo yang menyasar segmen luas dari sachet sampai kemasan botol ini menjadikan harga sebagai key succes factor. Pantene masuk pasar dengan harga jauh di atas si pemimpin pasar Sunsilk dan si emerging brand Clear yang sedang tumbuh. Dengan kualitas jauh di atas pemimpin, Pantene bisa masuk pasar baik dengan botol maupun sachet.

Namun, dalam perjalanan waktu, tampaknya para eksekutif P & G melihat kerdilnya pangsa pasar Pantene di Indonesia karena harga yang dipasang kelewat tinggi. Sehingga setelah melalui berbagai analisis mendalam, P & G akhirnya menurunkan harga cukup signifikan. Hasilnya, konon Pantene saat itu benar-benar sold-out.

Saya atau pembaca mungkin meragukan pernyataan itu. Namun, belakangan saya melihat sukses-tidaknya langkah revolusioner ini dari pengulangan penurunan harga produk P & G yang lain, yakni obat batuk Vicks Vaporub. Bayangan saya, kalau strategi itu gagal atau malah menggerogoti profit mereka, tentunya mereka tidak akan mengulanginya.

Selama beberapa lama, mereka terperangkap pemikiran bahwa konsumen loyal pasti mau membayar berapa pun untuk merek. Itu sebabnya, mereka bersikeras mempertahankan harga tinggi. Mereka asyik menikmati kampanye bertemakan ”Jangan ragu membeli produk berharga mahal kalau mau sembuh”. Namun dengan makin banyak dan gencarnya pesaing, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan pangsa pasar, mereka sadar harga Vicks terlalu mahal.

Belajar dari kesuksesan Marlboro dan Pantene, tim P & G akhirnya sadar sepenuhnya bahwa konsumen loyal mengerti soal value for money dan brand loyalty tidak berdiri sendiri, tapi sangat dipengaruhi kompetitor. Teori elastisitas harga suatu produk kini harus diubah dengan faktor kompetitor terdekat. Sehingga, para pemimpin pasar hendaknya tidak terlalu berambisi menaikkan harga produk karena keyakinan brand loyalty yang tinggi. Konsumen kini lebih pintar dan lebih aware terhadap value for money.

Terbukti Unilever mulai meniru langkah penurunan harga dengan menurunkan produk Lifebuoy. Bagi konsumen, penurunan harga bukan penurunan kualitas dan citra. Sebaliknya, konsumen bisa jadi malah menganggap penurunan harga sebagai keberpihakan pemilik merek pada mereka.

Apalagi, bila langkah tersebut kemudian dikomunikasikan, konsumen malah jadi tambah loyal. Itu yang terjadi pada Carrefour di Indonesia. Coba tanya bagaimana konsumen mencitrakan Carrefour, saya yakin tidak akan jauh beda dari supermarket Hero misalnya. Bahkan, Carrefour mempunyai nilai tambah sebagai merek yang berpihak pada konsumen.

Implikasi dari fenomena ini adalah teori bahwa naiknya brand loyalty akan meningkatkan profitabilitas 90% menjadi kuno dan berbahaya. Ini kalau diinterpretasikan bahwa kalau konsumen loyal, pemilik merek bisa seenaknya menaikkan harga untuk menaikkan profit.

Kapan keputusan penurunan harga harus dilakukan dan siapa yang berhak memutuskan keputusan strategis ini? CEO-lah yg harus memutuskan langkah ini. Mengapa? Karena, pemasar tradisional cuma bisa berpikir menaikkan harga. Dari selisih kenaikan harga, mereka bisa melakukan kampanye ke konsumen secara besar-besaran supaya konsumen tetap terbujuk membeli dan tidak berpindah ke merek lain.

Kalau arahnya terbalik, tak salah kalau pangsa pasar Vicks hancur dan langkah tidak favourable ini dilakukan. Hati-hati, para CEO. Kalau pangsa pasar turun tahun demi tahun, segera minta laporan lengkap. Jangan cuma brand awareness, brand loyalty, atau consumer satisfaction. Minta juga price brand mapping-nya.

Kisah Malaikat, Ilmuwan & Ego
Senin, 11 Juli 2005

Oleh : Arvan Pradiansyah
Direktur Pengelola ILM & pengarang buku best seller Life is Beautiful

Seorang ilmuwan menemukan seni untuk mengkloning dirinya dengan begitu sempurna, membuat orang tak dapat membedakan kloningnya dari dirinya yang asli. Suatu hari, ia mendengar malaikat maut mencarinya. Maka, ia segera menciptakan selusin kembaran dirinya. Malaikat bingung, tak bisa mengetahui yang mana dari 13 sosok di hadapannya yang merupakan sang ilmuwan. Maka, ia meninggalkan mereka semua dan pulang ke surga.

Namun, setelah mempelajari kodrat manusia dengan sungguh-sungguh, malaikat kembali dengan sebuah ide brilian. Di hadapan ke-13 sosok itu, ia berkata, “Anda memang seorang genius. Anda berhasil menciptakan tiruan-tiruan diri Anda dengan begitu sempurna. Namun, saya menemukan suatu kesalahan dalam karya Anda, hal yang kecil saja.”

Ilmuwan segera muncul keluar dan berteriak, ”Tidak mungkin! Mana kesalahannya?”

”Tepat di sini,” kata malaikat, dan ia mengambil sang ilmuwan dari antara tiruannya dan dibawa pergi.

Para pembaca yang budiman, bagaimana komentar Anda membaca cerita di atas? Tentu saja cerita tersebut hanyalah rekaan, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sangat patut kita renungkan. Kelemahan kita sebagai manusia bisa dirumuskan dalam satu kata: ego. Ego sering menjerumuskan kemanusiaan kita, membuat kita bertikai dan saling menyakiti satu sama lain.

Ada dua macam ego yang kita miliki. Pertama, kita sebut saja, ego yang pasif. Ego jenis ini membuat kita tak ingin disalahkan orang lain, tak ingin dianggap bodoh, tak ingin dikritik. Sebaliknya, kita ingin dianggap pandai, dianggap penting, dianggap berharga. Siapa pun, selama masih bernama manusia, sangat mendambakan pujian dari orang lain. Yang berbeda hanya porsinya. Ada orang yang benar-benar menggantungkan dirinya pada pujian, ada pula orang yang menanggapinya dengan sekadarnya saja. Yang pasti, tak ada satu orang pun yang tak suka dipuji.

Ego kedua, ego yang aktif. Ego inilah yang membuat kita suka mengkritik orang lain. Kita senang menyalahkan orang lain dan membuat mereka kelihatan bodoh. Kita suka menunjukkan bahwa kita lebih pandai, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih bijak dan lebih hebat. Bahkan, kalau kita mau jujur pada diri kita sendiri, kita sebenarnya mempunyai kecenderungan suka menyakiti orang lain. Mungkin Anda akan menolak pernyataan saya ini dengan cukup keras. Tidak apa-apa. Akan tetapi, coba Anda renungkan dalam-dalam dan jawablah hanya kepada diri Anda sendiri. Kita sebenarnya suka menyakiti orang lain, khususnya kepada orang-orang tertentu yang tidak kita sukai. Kalau kemudian kita memutuskan tidak menyakiti mereka, sebenarnya hal itu bukanlah karena kita tidak mau menyakiti mereka. Kita hanya tidak mau melukai diri kita sendiri. Kita sepenuhnya sadar bahwa menyakiti orang-orang itu hanya akan membuat diri kita sendiri tersakiti. Menyakiti orang-orang itu hanyalah akan merusak kredibilitas kita sendiri. Jadi, kita sebenarnya hanya tidak ingin menyakiti diri kita sendiri.

Dua jenis ego ini sebenarnya mengandung dua hal yang bertentangan. Di satu pihak kita tak suka dikritik, tapi di lain pihak kita suka mengkritik orang lain. Kita tak suka digurui tapi kita suka menggurui orang lain. Dua hal inilah yang sering membuat kita sulit bersinergi dengan orang lain. Kita memiliki ego yang sangat tinggi. Ego inilah yang membuat kita mudah melukai orang lain. Namun uniknya, ego yang sangat tinggi ini pulalah yang membuat kita mudah terluka, dan mudah sakit hati.

Dunia ini memang dipenuhi orang-orang yang memiliki ego yang sangat tinggi. Ini membuat sinergi sulit sekali dilakukan. Di rumah, ego yang tinggi akan membuat rumah tangga berakhir dengan perceraian. Bahkan, akhir-akhir ini perceraian sudah menjadi menu kehidupan kita sehari-hari. Di kantor juga demikian. Banyak orang yang ingin kelihatan hebat dan lebih unggul dari yang lain. Semuanya karena ingin dirinya sendiri yang dianggap penting. Di dunia politik juga tak kalah serunya. Orang saling bersaing, saling menjatuhkan, saling mengklaim dirinya yang paling berhak.

Situasi seperti ini menciptakan lingkaran setan (vicious circle) yang tak pernah ada habisnya. Namun, mengubah semuanya sebetulnya tidak terlalu sulit. Hanya dibutuhkan satu orang yang mau berpikir menang-menang. Tolong Anda garis bawahi kata-kata ini: berpikir menang-menang. Banyak orang yang ingin menang tapi lupa bahwa orang lain juga menginginkan kemenangan. Mereka lupa bahwa menang-menang memang tak akan dapat dicapai kalau kita tidak memulainya dari berpikir. Dan memang hanya dibutuhkan satu orang saja untuk bisa berpikir menang-menang: Anda sendiri!

Mau menang sendiri adalah ego terbesar yang dimiliki setiap orang. Inilah akar dari setiap masalah. Kalau kita pikir-pikir, bukankah sebenarnya hampir semua masalah yang kita hadapi dengan orang lain berakar dari diri kita sendiri? Ciri terpenting seorang pemimpin adalah kesadaran bahwa keinginan menang sendiri itulah yang sebetulnya tidak realistis. Kalau semua orang ingin menang sendiri, apa yang akan kita dapat?

Seseorang baru disebut pemimpin bila ia mampu menurunkan egonya ke level yang paling minimal. Ego itu sendiri sebenarnya dibutuhkan, karena tanpa ego kita tak akan memiliki harga diri dan kepercayaan diri. Pemimpin juga menyadari bahwa kunci berhubungan dengan orang lain adalah menjaga ego dan harga diri orang lain. Karena itu, ia tak akan pernah mengkritik orang sebelum benar-benar meyakini bahwa kritikan itu akan memberikan manfaat. Seorang pemimpin tak akan pernah memberikan kritik sekadar untuk memuaskan dirinya sendiri. Ia sangat sadar bahwa tugasnya dapat disimpulkan dalam satu kalimat: menundukkan egonya sendiri dan menjaga ego orang lain. Sederhana memang, tapi perlu perjuangan yang besar untuk bisa melakukannya.

CEO Juga Manusia
Senin, 28 Januari 2008

Oleh : Taufik Hidayat

Tugas dan tanggung jawab CEO yang berat berpotensi menimbulkan stres dan depresi. Perlu katub penyeimbang guna mengurai beban dan masalah yang dihadapi. Kepada siapa mereka mencurahkan isi hati?

Menjadi chief executive officer (CEO) pasti merupakan angan-angan banyak profesional. Apa lagi kalau bukan karena faktor gaji, fasilitas, sekaligus prestise yang jadi iming-imingnya. Namun, realitasnya, benarkah hal-hal menyenangkan saja yang mereka dapatkan? Tidak demikian, pembaca! Di balik kenikmatan gaji dan fasilitas seorang CEO, terdapat tugas dan tanggung jawab yang sama besarnya dengan pendapatan mereka.

Betapa tidak. Kejayaan atau malah kehancuran organisasi perusahaan berada di pundak seorang CEO. Di tangannya, tergenggam hidup-matinya perusahaan. Dengan setumpuk beban pekerjaan dan target-target yang mesti dicapai, tingkat stres mereka sangat tinggi. Apalagi, CEO ibarat bekerja 24 jam sehari. Dengan demikian, waktu untuk keluarga ataupun untuk diri sendiri tersedot habis. Alih-alih menikmati hidup dengan fasilitas lengkap, banyak CEO yang bisa jadi malah diserang stres berat dan depresi.

Kalau sudah seperti itu, para CEO pun butuh tempat untuk mengatasi kondisi tersebut. Banyak cara yang sebenarnya bisa mereka lakukan. Misalnya, berekreasi, berolah raga, melakukan spa atau clubing. Masalahnya, para CEO sering merasa kesulitan mengatur waktu. Biarpun menjadi pemimpin puncak, manajemen waktunya secara umum lemah. Prioritas kegiatan tak diatur secara baik. Akibatnya, hidup mereka tidak seimbang.

Ary Ginanjar Agustian, pendiri lembaga pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Leadership Center, mengungkapkan, ia sering dijadikan tempat para pengusaha dan CEO untuk berbagi beban dan mencurahkan isi hati (curhat). “Bukan hanya pengusaha atau CEO Muslim yang datang, ada juga yang non-Muslim,” ujarnya. “ESQ pendekatannya bukan secara agama, tapi lebih pada bagaimana menangani manusia dari pendekatan dari sisi spritualitas.”

Umumnya, menurut Ary, kisah yang diceritakan oleh para CEO kepadanya adalah tentang tekanan moral, situasi mental yang turun menghadapi persaingan bisnis atau kegagalan target bisnis/proyek. Biasanya, ia menyarankan agar para CEO mengikuti pelatihan ESQ. “Akan sulit bagi saya menjelaskan tentang nurani ketika mereka tidak mempunyai pemahaman yang sama,” ujarnya.

Materi pelatihan ESQ umumnya adalah jawaban atas pertanyaan yang sering dilontarkan oleh CEO. Sebagai pengusaha -- pernah bergabung di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia -- Ary menyadari bahwa bisnis terkait erat dengan ketidakpastian dan situasi persaingan yang ketat. CEO bertanggung jawab dalam situasi di mana dia harus bisa mendeteksi sekaligus menyelesaikan permasalahan. Ketika seorang CEO tidak mampu menyelesaikannya, hasilnya adalah depresi dan keputusasaan. “Umumnya setelah menjadi alumni, mereka tidak secara resmi berkonsultasi (pada saya) karena kami memang memang bukan lembaga konsultasi,“ ungkap Ary. Kalaupun ada curhat setelah ESQ dilakukan, menurutnya, itu lebih pada saling berbagi sebagai teman.

Presiden Direktur PT Arga Bangun Bangsa ini mengatakan, para CEO yang datang berkeluh kesah padanya umumnya merasa resah dan gelisah. Ia memaknai kegelisahan tersebut sebagai kehilangan orientasi hidup, karena mereka dihujani materi, tanpa ada siraman rohani. Gaya hidup yang berorientasi pada sekulerisasi justru menjauhkan mereka dari dunia rohani. “Padahal, spiritualitas lebih membahagiakan daripada itu,“ Ary menegaskan.

Bukan hanya persoalan bisnis yang sering didengarkannya, persoalan rumah tangga pun acap kali dikonsultasikan para CEO kepada Ary. Ia menjelaskan, dalam berbagi cerita, perannya hanya sebatas berdiskusi, karena ia tidak mau sampai menjadi penengah antara CEO dan keluarganya serta ikut campur urusan domestik rumah tangga.

Sama seperti Ary, pebisnis senior Palgunadi T. Setiawan pun sering menjadi tempat curhat para CEO. Terlebih, Pal – sapaan akrabnya -- bergabung dalam CEO Klub. Menurutnya, siapa saja yang membangun diri pasti akan membicarakan dua bagian pokok. Pertama, kemampuan tampil yang terdiri atas kerja otak (pengetahuan) dan kerja fisik (keterampilan). Kedua, kemampuan pengendalian diri yang terdiri atas motivasi diri, konsep diri, kesadaran akan bakat diri dan peran sosial yang diambil. “Kualitas seseorang ditentukan 85% oleh kemampuan mengendalikan diri dan 15% oleh kemampuan tampil,” katanya.

Menurut Pal, pokok pembicaraan tidak akan jauh dari pengembangan diri. Kalau ada CEO yang berkeluh kesah kepadanya, ia akan mengatakan, “Saya tidak bisa merasakan apa yang Anda rasakan.” Dan lagi, ia menyangsikan kalau ada orang sekaliber CEO yang suka berkeluh kesah. “CEO kok curhat,” katanya lagi.

Pal tidak pernah berpretensi menyelesaikan masalah orang. Baginya, tiap individu harus menyelesaikan masalahnya sendiri. “Kalau sekadar berbagi pengalaman dan kebetulan pengalamannya sama, ya! Sebatas tukar pengalaman.”

Berbagi tentang pengembangan diri, dikatakan Pal, tentu akan lebih menarik dibandingkan curhat. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan karena terjadi transformasi informasi dan pengetahuan. Secara prinsip, seorang CEO pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan terkait dengan pekerjaannya. “Yang dibutuhkan kan tukar pengalaman,” ujarnya menegaskan.

Psikolog ternama Eileen Rachman membenarkan ucapan Pal. Eileen menuturkan, CEO sekarang berbeda dari CEO 20 tahun lalu. CEO sekarang, menurutnya, lebih memiliki sense of human. Mereka sangat progresif serta senang berbelanja dan bergaul. “Saya lebih menjadi teman mereka. Mereka kelihatan lebih assertive.”

Walau enggan menyebut beberapa teman CEO-nya yang sering datang curhat kepadanya, eksekutif Grup Kawan Lama ini menyebutkan, curahan isi hati para sahabatnya yang telah menempati posisi puncak dalam organisasi perusahaan ini lebih banyak tentang pekerjaan. “Problem solving-nya bukan problem solving sederhana,” ujar ibu dari DJ Riri ini. Topik-topik yang dibicarakan seperti masalah perubahan regulasi, politik dan beban pekerjaan. “Para sahabat saya tidak suka membahas urusan pribadi.”

Bagi Ary, menjadi tempat bersandar para CEO membuatnya semakin memahami kehidupan dengan segala dinamikanya. “Kita harus sadar bahwa hidup adalah pengabdian pada Sang Maha Pencipta,” katanya. Ada hal-hal lain yang jauh lebih bernilai yang bisa didapatkan ketimbang materi semata.