Sabtu, 15 Mei 2004
Oleh : Simon Jonatan
PDI Perjuangan kalah di Jakarta. Itulah yang terjadi dalam Pemilu 2004 tanggal 5 April lalu. PDIP dilibas oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bahkan di kawasan Menteng, tempat kediaman ?Ratu? Negara, justru Partai Demokrat yang berkuasa, sementara PDIP hanya menduduki posisi ketiga.
Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Dengan upaya pemasaran yang luar biasa gencar, dan ditangani secara sangat profesional oleh pakar-pakar pemasaran, seharusnya PDIP menang mutlak! Selama tiga minggu masa kampanye, PDIP sangat unggul dalam beriklan. Hampir semua media, baik televisi, radio, media cetak, maupun media luar ruang, dihujani si Moncong Putih. Konon, anggaran promosinya mencapai Rp 40 miliar untuk tiga minggu masa kampanye. Nilai yang sulit ditandingi oleh pengiklan mana pun di negeri ini.Akibat gencarnya iklan-iklan PDIP yang membabi buta, ia sempat tercatat sebagai pelanggar kampanye dengan 11 kali pelanggaran jumlah penayangan iklan di televisi. Pelanggaran ini belum termasuk ?cerdik?-nya PDIP memanfaatkan bentuk-bentuk iklan yang belum terjamah undang-undang kampanye, seperti running text atau super impose di teve. Konsep iklannya sendiri juga cerdik. Dengan mengajukan tag line ?moncong putih? yang fenomenal. ?Moncong putih? sungguh mengena, artinya mulut yang bersih suci, pantang bohong dan korupsi.
Istilah itu juga mudah dikenal oleh rakyat kalangan mana pun, dan secara visual menjadi pembeda dari partai berlogo banteng yang lain. Iklan dibuat dalam berbagai versi, untuk orang yang sudah mapan, untuk anak muda, dan untuk kalangan menengah-bawah. Strategi dan eksekusi pemasaran PDIP sungguh sempurna. Andaikan PDIP adalah consumer good yang baru diluncurkan, bisa dipastikan produk ini sudah menyeruak memimpin pasar, atau paling tidak mengguncang posisi market leader dengan sangat keras. Di kancah politik, PDIP sesungguhnya sudah menjadi market leader di antara partai lain. Dengan posisi itu, PDIP telah melakukan hal yang benar sebagai market leader, yaitu sekuat tenaga menjaga dan memperluas pasarnya. Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Kekalahan PDIP di beberapa tempat menunjukkan bahwa konsep pemasaran yang sudah dilakukan, didukung dengan gencarnya frekuensi iklan, tidak sepadan dengan suara yang diperoleh. Apa sebabnya? Masalahnya terletak pada tingkat involvement antara produk dan konsumen.
Produk yang low involvement adalah produk yang dalam proses adopsinya tidak memerlukan banyak pertimbangan. Biasanya produk sejenis ini dapat dibeli dengan harga yang relatif murah. Konsumen lebih berani mencoba-coba merek baru jika produknya bersifat low involvement. Contohnya, permen, snack dan minuman ringan. Sebaliknya, produk high involvement dalam proses adopsinya memerlukan banyak pertimbangan, harganya cenderung mahal. Biasanya produk ini canggih secara teknologi. Contohnya, mobil, motor, telepon seluler dan komputer. Meskipun mencoblos tidak dipungut biaya, partai politik ternyata termasuk kategori produk high involvement. Artinya, rakyat sungguh-sungguh mempertimbangkan parpol yang dipilihnya. Dengan pertimbangan yang panjang, konsumen akan bersikap kritis terhadap iklan.
Bahasa gampangnya: tidak mudah termakan iklan alias menjadi korban iklan. Ini terjadi di kota-kota besar, yang pemilihnya relatif lebih berpendidikan. Lain halnya yang terjadi di pedesaan. Dengan tingkat pendidikan yang belum tinggi, mereka masih lebih mudah termakan janji-janji parpol. Jika melihat fenomena ini, proses reformasi, yang merupakan pendidikan politik yang sangat mahal, ternyata mulai menunjukkan hasilnya. Rakyat tidak lagi demikian mudah dipengaruhi iklan-iklan yang tidak cerdas, mengobral janji, atau menjual romantisme politik semata-mata. Rakyat mulai cerdas memilih wakilnya. Apa yang dilakukan PDIP tidaklah salah. Hanya, jika produk bersifat high involvement, iklan saja tidak cukup. Yang lebih penting: kualitas produk. Konsumen akan mencari tahu lebih jauh dari iklan. Iklan hanya sebagai gerbang pembuka awareness. Setelah itu, konsumen akan melihat ke detail poduknya, sampai akhirnya memutuskan mengadopsi produk. Jadi, kegiatan public relations, dan ?bukti?, bukan ?janji? menjadi penting. Parpol memang bisa diibaratkan produk yang pemakaiannya jangka panjang.
Sehingga sebelum memutuskan, harus dipertimbangkan masak-masak. Ambil contoh merek BMW atau Mercedes. Kedua produk ini bersaing merebut posisi pemimpin pasar mobil mewah di Indonesia. Iklan mereka tak segencar para pemain di bawah kelasnya, seperti Daihatsu atau Toyota. Mereka sadar bahwa pemilihan produk mereka sangatlah high involvement. Eksekutif penjualan BMW tidak perlu banyak berbicara bahwa produk mereka unggul ini atau unggul itu. Konsumen cukup melihat sendiri, test drive, dan mengetahui keunggulan produknya. Prosesor komputer merek Intel dengan produknya Pentium memiliki karakteristik yang sama. Komputer adalah produk yang high involvement. Intel adalah pemimpin pasar prosesor. Bukannya tanpa pesaing, ada juga prosesor-prosesor merek lain. Mereka semua tak gencar beriklan, lantaran mereka sadar bahwa jika kita bicara komputer, kualitas produk lebih bersuara daripada iklannya.
Kembali ke pasar parpol, siapa produk baru yang berhasil menggoyang sang pemimpin pasar? Ternyata, Partai Demokrat, PKS dan Partai Damai Sejahtera (PDS). Tiga partai baru yang langsung menyeruak menjadi anggota top ten parpol. Apa rahasia sukses mereka? Dari segi konsep pemasaran dan frekuensi iklan, tentunya mereka kalah canggih dari PDIP, Partai Golkar atau Partai Amanat Nasional, yang lebih lama bermain di pasar. Keunggulan mereka ada pada misi dan program yang mereka bawa. Jika dalam bahasa pemasaran, keunggulan mereka adalah pada unique selling points-nya. PDS, sebagai partai dengan lambang salib, jelas memiliki konsumen loyal tersendiri. Juga, PKS dengan simbol keislamannya, punya ikatan tersendiri dengan massa. Demikian pula Partai Demokrat, punya Susilo Bambang Yudhoyono yang citranya belakangan sangat positif di mata rakyat. Semua itu menjadi dasar pilihan rakyat dalam mencoblos partainya. Bukan sekadar melihat iklan, atau ikut joget beramai-ramai semasa kampanye, atau mendapat uang makan dan kaus partai.
Strategi pemasaran mereka menggunakan cara yang paling ampuh sekaligus paling sederhana dari segala jenis strategi pemasaran: word of mouth. Melalui komunikasi dari orang ke orang, mulut ke mulut, mereka melejit. Kualitas mereka diakui dan dirasakan lebih dari sekadar spot iklan atau spanduk. Dalam produk yang high involvement, cara word of mouth ini terbukti sangat ampuh dalam memengaruhi konsumen untuk mengadopsi produk.
No comments:
Post a Comment