Sunday, September 7, 2008

CEO Juga Manusia
Senin, 28 Januari 2008

Oleh : Taufik Hidayat

Tugas dan tanggung jawab CEO yang berat berpotensi menimbulkan stres dan depresi. Perlu katub penyeimbang guna mengurai beban dan masalah yang dihadapi. Kepada siapa mereka mencurahkan isi hati?

Menjadi chief executive officer (CEO) pasti merupakan angan-angan banyak profesional. Apa lagi kalau bukan karena faktor gaji, fasilitas, sekaligus prestise yang jadi iming-imingnya. Namun, realitasnya, benarkah hal-hal menyenangkan saja yang mereka dapatkan? Tidak demikian, pembaca! Di balik kenikmatan gaji dan fasilitas seorang CEO, terdapat tugas dan tanggung jawab yang sama besarnya dengan pendapatan mereka.

Betapa tidak. Kejayaan atau malah kehancuran organisasi perusahaan berada di pundak seorang CEO. Di tangannya, tergenggam hidup-matinya perusahaan. Dengan setumpuk beban pekerjaan dan target-target yang mesti dicapai, tingkat stres mereka sangat tinggi. Apalagi, CEO ibarat bekerja 24 jam sehari. Dengan demikian, waktu untuk keluarga ataupun untuk diri sendiri tersedot habis. Alih-alih menikmati hidup dengan fasilitas lengkap, banyak CEO yang bisa jadi malah diserang stres berat dan depresi.

Kalau sudah seperti itu, para CEO pun butuh tempat untuk mengatasi kondisi tersebut. Banyak cara yang sebenarnya bisa mereka lakukan. Misalnya, berekreasi, berolah raga, melakukan spa atau clubing. Masalahnya, para CEO sering merasa kesulitan mengatur waktu. Biarpun menjadi pemimpin puncak, manajemen waktunya secara umum lemah. Prioritas kegiatan tak diatur secara baik. Akibatnya, hidup mereka tidak seimbang.

Ary Ginanjar Agustian, pendiri lembaga pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Leadership Center, mengungkapkan, ia sering dijadikan tempat para pengusaha dan CEO untuk berbagi beban dan mencurahkan isi hati (curhat). “Bukan hanya pengusaha atau CEO Muslim yang datang, ada juga yang non-Muslim,” ujarnya. “ESQ pendekatannya bukan secara agama, tapi lebih pada bagaimana menangani manusia dari pendekatan dari sisi spritualitas.”

Umumnya, menurut Ary, kisah yang diceritakan oleh para CEO kepadanya adalah tentang tekanan moral, situasi mental yang turun menghadapi persaingan bisnis atau kegagalan target bisnis/proyek. Biasanya, ia menyarankan agar para CEO mengikuti pelatihan ESQ. “Akan sulit bagi saya menjelaskan tentang nurani ketika mereka tidak mempunyai pemahaman yang sama,” ujarnya.

Materi pelatihan ESQ umumnya adalah jawaban atas pertanyaan yang sering dilontarkan oleh CEO. Sebagai pengusaha -- pernah bergabung di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia -- Ary menyadari bahwa bisnis terkait erat dengan ketidakpastian dan situasi persaingan yang ketat. CEO bertanggung jawab dalam situasi di mana dia harus bisa mendeteksi sekaligus menyelesaikan permasalahan. Ketika seorang CEO tidak mampu menyelesaikannya, hasilnya adalah depresi dan keputusasaan. “Umumnya setelah menjadi alumni, mereka tidak secara resmi berkonsultasi (pada saya) karena kami memang memang bukan lembaga konsultasi,“ ungkap Ary. Kalaupun ada curhat setelah ESQ dilakukan, menurutnya, itu lebih pada saling berbagi sebagai teman.

Presiden Direktur PT Arga Bangun Bangsa ini mengatakan, para CEO yang datang berkeluh kesah padanya umumnya merasa resah dan gelisah. Ia memaknai kegelisahan tersebut sebagai kehilangan orientasi hidup, karena mereka dihujani materi, tanpa ada siraman rohani. Gaya hidup yang berorientasi pada sekulerisasi justru menjauhkan mereka dari dunia rohani. “Padahal, spiritualitas lebih membahagiakan daripada itu,“ Ary menegaskan.

Bukan hanya persoalan bisnis yang sering didengarkannya, persoalan rumah tangga pun acap kali dikonsultasikan para CEO kepada Ary. Ia menjelaskan, dalam berbagi cerita, perannya hanya sebatas berdiskusi, karena ia tidak mau sampai menjadi penengah antara CEO dan keluarganya serta ikut campur urusan domestik rumah tangga.

Sama seperti Ary, pebisnis senior Palgunadi T. Setiawan pun sering menjadi tempat curhat para CEO. Terlebih, Pal – sapaan akrabnya -- bergabung dalam CEO Klub. Menurutnya, siapa saja yang membangun diri pasti akan membicarakan dua bagian pokok. Pertama, kemampuan tampil yang terdiri atas kerja otak (pengetahuan) dan kerja fisik (keterampilan). Kedua, kemampuan pengendalian diri yang terdiri atas motivasi diri, konsep diri, kesadaran akan bakat diri dan peran sosial yang diambil. “Kualitas seseorang ditentukan 85% oleh kemampuan mengendalikan diri dan 15% oleh kemampuan tampil,” katanya.

Menurut Pal, pokok pembicaraan tidak akan jauh dari pengembangan diri. Kalau ada CEO yang berkeluh kesah kepadanya, ia akan mengatakan, “Saya tidak bisa merasakan apa yang Anda rasakan.” Dan lagi, ia menyangsikan kalau ada orang sekaliber CEO yang suka berkeluh kesah. “CEO kok curhat,” katanya lagi.

Pal tidak pernah berpretensi menyelesaikan masalah orang. Baginya, tiap individu harus menyelesaikan masalahnya sendiri. “Kalau sekadar berbagi pengalaman dan kebetulan pengalamannya sama, ya! Sebatas tukar pengalaman.”

Berbagi tentang pengembangan diri, dikatakan Pal, tentu akan lebih menarik dibandingkan curhat. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan karena terjadi transformasi informasi dan pengetahuan. Secara prinsip, seorang CEO pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan terkait dengan pekerjaannya. “Yang dibutuhkan kan tukar pengalaman,” ujarnya menegaskan.

Psikolog ternama Eileen Rachman membenarkan ucapan Pal. Eileen menuturkan, CEO sekarang berbeda dari CEO 20 tahun lalu. CEO sekarang, menurutnya, lebih memiliki sense of human. Mereka sangat progresif serta senang berbelanja dan bergaul. “Saya lebih menjadi teman mereka. Mereka kelihatan lebih assertive.”

Walau enggan menyebut beberapa teman CEO-nya yang sering datang curhat kepadanya, eksekutif Grup Kawan Lama ini menyebutkan, curahan isi hati para sahabatnya yang telah menempati posisi puncak dalam organisasi perusahaan ini lebih banyak tentang pekerjaan. “Problem solving-nya bukan problem solving sederhana,” ujar ibu dari DJ Riri ini. Topik-topik yang dibicarakan seperti masalah perubahan regulasi, politik dan beban pekerjaan. “Para sahabat saya tidak suka membahas urusan pribadi.”

Bagi Ary, menjadi tempat bersandar para CEO membuatnya semakin memahami kehidupan dengan segala dinamikanya. “Kita harus sadar bahwa hidup adalah pengabdian pada Sang Maha Pencipta,” katanya. Ada hal-hal lain yang jauh lebih bernilai yang bisa didapatkan ketimbang materi semata.


No comments: